BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penegakan
diagnosis penyakit yang terkait dengan kelainan glandula salivarius merupakan
dasar untuk menentukan rencana perawatan yang tepat dan rasional dalam rangka
mengembalikan fungsi normal glandula salivarius. Diperlukan teknik yang efektif
guna mengupayakan hasil diagnosis yang tepat dan akurat. Sialografi, suatu
teknik radiografi yang menggunakan media kontras sebagai sarana visualisasi
duktus glandula salivarius dipandang sebagai teknik yang tepat untuk mewujudkan
keakuratan diagnosis tersebut.
Pelaksanaan
sialografi yang membutuhkan beberapa prosedur khusus ternyata menimbulkan
masalah tersendiri. Diantaranya adalah adanya efek-efek negatif penggunaan media
kontras pada jaringan, timbulnya beberapa efek yang tidak diharapkan karena
proses radiasi sinar X, dan beberapa masalah terkait kegagalan pemasangan
kanula (kanulasi) yang pada dasarnya memang membutuhkan skill yang tinggi.
Oleh karena itu,
dalam perkembangannya, kemudian dikenal teknik sialografi MR (Magnetic Resonance) yang memungkinkan
pelaksanaan sialografi tanpa menggunakan kontras media, radiasi, maupun
kanulasi. Dalam rangka meningkatkan efektivitas sialografi MR demi
didapatkannya sialograf berkualitas tinggi, beberapa modifikasi dilakukan dalam
sialografi MR.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah kami adalah sebagai berikut:
1.2.1
Apa perbedaan antara sialografi
konvensional dengan sialografi MR (Magnetic
Resonance Imaging)?
1.2.2
Bagaimana prinsip dari sialografi MR?
1.2.3
Bagaimana modifikasi sialografi MR?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan
dari penyusunan makalah adalah sebagai berikut :
1.3.1
Untuk mengetahui perbedaan antara sialografi
konvensional dengan sialografi menggunakan MR.
1.3.2
Untuk mengetahui prinsip sialografi MR.
1.3.3
Untuk mengetahui modifikasi-modifikasi sialografi
MR.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian Sialografi
Sialografi
dapat didefinisikan sebagai gambaran radiograf glandula saliva dengan
menambahkan media kontras yang radiopak ke dalam sistem duktal pada glandula
tersebut (Whaites, 2003).
Sialografi
merupakan suatu teknik radiografi yang menghasilkan gambaran radiograf yang
paling jelas bagi sistem duktal glandula saliva (White and Pharoah, 2004).
2.2 Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan
Sialografi
Indikasi
pemakaian sialografi:
-
Untuk mengetahui keberadaan dan posisi calculi atau sumbatan apapun
radiodensitasnya, baik radiolusen maupun radiopak.
-
Untuk menilai sejauh mana kerusakan
saluran dan glandula saliva yang bersifat sekunder menuju obstruktif.
-
Untuk mengetahui kerusakan glandula yang
telah terjadi dan penilaian kasar pada kasus xerostomia.
-
Untuk mengetahui lokasi, ukuran, dan
penyebab pembengkakan atau adanya suatu massa. Poin indikasi ini sebenarnya
mengalami banyak kontroversi karena ada pendapat bahwa ada perangkat diagnose
yang lebih baik daripada sialografi.
(Whaites, 2003)
Sedangkan
kontraindikasinya adalah:
-
Infeksi akut
-
Sensitivitas pasien pada bahan yang
mengandung iodin
(White and Pharoah, 2004)
-
Ketika pada pemeriksaan radiograf rutin
(bukan sialograf) terlihat gambaran calculi
dekat dengan pembukaan duktus, maka injeksi bahan kontras akan mendorong calculi tersebut kembali ke duktus utama
yang kemungkinan lebih sulit dijangkau.
(Whaites, 2003)
Kontra indikasi di atas dapat ditanggulangi segera
dengan thyroid function test (White
and Pharoah, 2004).
2.3 Macam-macam sialografi
Macam-macam
pemeriksaan radiograf pada glandula saliva:
-
Plain
radiographic examination
-
Sialografi konvensional
-
Sialografi intervensional
-
Computed
tomography (CT)
-
Radioisotope
imaging
-
Flow
rate studies
-
Ultrasound
-
Magnetic
Resonance (MR)
(Whaites, 2003)
2.4 Sialografi Konvensional
Prinsip sialografi konvensional adalah terdiri dari 3 fase prosedur, yaitu
fase preoperatif, pengisian, dan pengosongan. Masing-masing fase dilakukan
pengambilan radiograf menggunakan media kontras. Operator harus memiliki
pengetahuan yang detail mengenai gambaran normal dan patologis dari glandula
saliva (Whaites, 2003).
Tipe media kontras
untuk sialografi adalah all iodine-based,
yakni semua yang berbasis iodin. Klasifikasinya antara lain:
1. Ionic
aqueous solution,
terdiri dari:
- Diatrizoate (urografin)
- Metrizoate (triosil)
2. Non
– ionic aqueous solution,
terdiri dari:
- Iohexol (omnipaque)
3. Oil
– based solution,
terdiri dari:
- Iodized
oil contohnya: lipiodol
- Water insoluble organic iodin compounds contohnya: pantopaque
(Whaites, 2003)
Salah satu contoh media kontras adalah Lipiodol. Lipiodol merupakan lipid
based contrast medium, dimana lipiodol memberikan gambaran yang bagus,
jelas dan detail dari glandula salivarius, karena lipodol mengandung visksiotas
dan konsentrasi iodin yang tinggi. Namun disamping kelebihanya tersebut, lipodol
juga mempunyai kekurangan yakni lipiodol
dapat meninggalkan sisa di glandula salivarius yang lama kelamaan bisa
menyebabkan iritasi dan teresorbsi dalam
waktu yang lama yakni sekitar 70 bulan.
Lipiodol intoleran terhadap pasien penderita Sjogren’s syndrome.
Efek dari pengisian
lipiodol yang meninggalkan sisa di glandula salivarius akibat overfilling anatara lain: dapat
menyebabkan kerusakan dari jaringan parenkima, inflamasi kronik, dan
lipogranuloma, oleh sebab itu banyak para ahli
yang tidak merekomendasikan pemakaian lipiodol sebagai media kontras
sekalipun lipiodol memberikan gambaran yang bagus dan detail. Saat ini para ahli lebih merekomendasikan pemakaian
dari water based contrast medium,
karena lebih toleran terhadap tubuh manusia dan dengan cepat teresorbsi di jaringan.
(Ozdemir,
et.all, 2004)
Sialografi adalah
investigasi radiografi rutin yang melibatkan kanulasi dari saluran kelenjar
ludah melalui lingkungan oral. Prosedur ini memungkinkan adanya bacteremia yang timbul dari organisme komensal di rongga
mulut atau dari bakteria yang berkolonisasi di saluran kelenjar ludah yang
abnormal. Organisme yang biasanya ditemukan di kelenjar ludah yang terinfeksi
adalah Staphylococcus aureus.
Organisme bakteri lainnya antara lain Streptococci, Haemophilus influenzae, dan Escherichia
coli. Oleh sebab itu, profilaksis antibiotik direkomendasikan diberikan
untuk seluruh prosedur dental yang melibatkan manipulasi dento-gingival kepada
pasien yang memiliki infeksi endocarditis,
namun pada sialografi hal tersebut tidak dibutuhkan karena sialografi bukan
merupakan prosedur dental yang melibatkan manipulasi dento-gingival walaupun
pada proses kanulasi memungkinkan adanya bacteremia
(Nixon, et.all, 2008).
2.5 Magnetic Resonance (MR)
2.5.1. Pengertian
MR Sialografi
Magnetic
resonance imaging merupakan suatu teknik pencitraan
gambaran radiografi dengan menggunakan radiasi nonpengion dari radiofrekuensi
yang diperoleh dari spektrum elektromagnetik (White and Pharoah, 2004).
2.5.2. Prinsip
Penggunaan MR Sialografi
Prinsip dari MR adalah pasien ditempatkan ke dalam
sebuah magnet besar yang mana yang akan menginduksi medan magnet yang relative
kuat dari luar. Hal tersebut menyebabkan energi dihasilkan dari tubuh kemudian
terdeteksi, dan digunakan untuk mengkonstruksi gambaran MR pada komputer.
Sensitivitas kontras yang tinggi dari MR ditentukan oleh perbedaan jaringan dan
ada atau tidaknya paparan radiasi nonpengion tersebut (White and Pharoah,
2004).
2.5.3. Indikasi,
Keuntungan, dan Kerugian MR Sialografi
Indikasi :
1. Pembengkakan
atau benjolan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri baik intrinsik dan ekstrinsik
ke kelenjar ludah
2. Pembengkakan
umum, contohnya Sjogren’s Syndrome.
Keuntungan :
1. Radiasi
pengion tidak digunakan.
2. Memberikan
detail jaringan lunak yang sangat baik dan memungkinkan diferensiasi yang lebih
mudah antara normal dan abnormal.
3. Memberikan
gambaran lokalisasi akurat dan mungkin dapat digunakan untuk membedakan tumor
jinak dari tumor ganas.
4. Dapat
mengidentifikasi nervus facialis.
5. Gambaran
dapat tersedia dari berbagai bidang.
6. Co-localization possible
dengan scan PET.
7. MR
sialografi dapat dilakukan bersama dengan MR spectroscopy.
8. Cairan
pada saluran dan kelenjar saliva dapat tervisualisasi dengan MR sialografi
tanpa menggunakan contrast agent.
9. MR
spectroscopy dapat dilakukan untuk
membedakan perbedaan jaringan berdasarkan kandungan kimiawinya.
Kerugian:
1. Tidak
memberikan informasi mengenai fungsi glandula saliva.
2. Informasi
yang terbatas mengenai jaringan keras sekitar.
(Whaites, 2003)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbedaan Sialografi Konvensional
dengan MR Sialografi
Perbedaan Sialografi Konvensional dengan
MR Sialografi:
Konvensional sialografi:
1.
Untuk
mengetahui keabnormalitasan glandula saliva
2.
Orifice didilatasi dengan probes, kemudian dimasukkan kanula yang diberi
suatu zat kontras ke dalam duktus
3.
Murah
dan mudah didapat
4.
Kurang
sensitif dan resolusi rendah
5.
Memiliki
akurasi yang rendah daripada MR
6.
Komplikasi
sialografi: alergi (tetapi jarang) dan tidak nyaman pada pasien
(Johnson and Bailey, 2006)
7.
Untuk
menghitung lokasi akurat dari lesi glandula saliva dan untuk membedakan lesi
tersebut dari tumor parafaringeal
8.
Untuk
mengidentifikasi neoplastik dari inflamasi dan proses patologi
9.
Untuk
mengidentifikasi neoplasma yang benigna atau maligna
10. Panoramik sangat cocok untuk melihat adanya caliculi pada glandula submandibula dan
parotis
11. Film oklusal cocok untuk melihat adanya kalkuli
di dalam submandibula dan batu pada glandula parotis
12. Berperan untuk mengevaluasi penyakit pada
duktus, sialosis, inflamasi kronik pada glandula saliva, kalikuli yang tidak
terklasifikasi, tetapi sialografi tidak untuk tumor dan masses.
13. Media kontras water soluble tidak menghasilkan gambar duktus saliva sebaik media
kontras oil.
14. Kontra indikasi sialografi: pasien dengan
infeksi akut karena inflamasi dan pasien dengan alergi media kontras.
(Becker, et al, 2005)
MR Sialografi:
1. Tekniknya tergantung pada kepadatan proton di
jaringan
2. Tidak
menggunakan media kontras tapi jika diperlukan menggunakan media kontras
melalui intravena untuk membedakan masa solid dan kista
3. Lebih sensitif dan resolusinya lebih tinggi
sehingga gambar radiografi lebih tajam dibanding konvensional sialografi.
4. Penambahan kontras tidak menambah nilai
informasi dan biasanya tidak diberikan.
5. Media kontras pada teknik ini yang biasanya
digunakan adalah gadolinium (untuk kasus tumor ekstra glandula).
(Johnson and Bailey, 2006)
6. Ion radiasi terhadap pasien lebih rendah (menggunakan
radiasi nonionisasi).
7. Kelebihan: dapat digunakan pada pasien dengan
akut inflamasi dan alergi media kontras seperti iodin.
8. Kelemahan: distorsi untuk pasien yang memakai
tumpatan amalgam, karena akan mengganggu visualisasi lokasi dari kalikuli atau
batu yang berada di dekat dengan orifice
duktus glandula saliva.
(Becker, et al, 2005)
9. Memberikan
gambaran yang lebih baik
datipada CT baik pada batas masa pada glandula saliva, struktur dalam glandula
maupun pelebaran lesi.
10. Menggunakan gelombang radiofrekuensi dan
magnet kuat.
11. Menunjukkan morfologi duktus secara akurat
tapi tidak bisa untuk mengidentifikasi sialolitiasis yang kecil.
(White and Pharoah,
2004)
Perbedaan Sialografi Konvensional dengan MR
Sialografi juga dapat dipaparkan dalam sebuah perbandingan MR Sialografi dengan
digital subtraction. Digital
Substraction merupakan
pencitraan (sialograf) dengan metode konvensional, yaitu membutuhkan cannulation, penggunaan media kontras,
dan pemaparan radiasi sinar x.
MR sialografi dapat untuk mendiagnosa sialolithiasis dan sialodenitis.
Begitu pula Digital substraction atau sialograf konvensional yang
dapat digunakan untuk mendiagnosa
inflamasi kronik yang menyebabkan penyempitan duktus, sialectasia, dan
sialolithiasis. Namun perbedaan keduanya dapat
dijelaskan melalui pemaparan kelebihan dan kekurangan Digital
substraction dan MR sialografi itu sendiri.
Kelebihan dari MR sialografi adalah:
1.
Memerlukan waktu yang lebih singkat.
2.
Tidak memerlukan kanulasi dan penggunaan media kontras.
3.
Kemungkinan untuk memvisualisasikan
semua kelenjar saliva mayor tanpa penempatan pasien yang rumit.
Kelemahan MR
sialografi :
1.
Kontraindikasi untuk pasien yang mengidap claustrophobia.
2.
Sensitivitas dan spesifitas kurang, tergantung dari sekresi saliva.
Semakin banyak sekresi saliva, semakin jelas gambaran
pada MR sialograf. Digunakan Lemon untuk menstimulasi sekresi saliva.
Kelemahan digital substraction (konvensional):
1.
Pemaparan radiasi sinar x.
2.
Perlu kanulasi
dan injeksi media kontras.
Kanulasi memerlukan skill
yang tinggi, sehingga kegagalan yang sering terjadi pada teknik konvensional
disebabkan karena sulitnya mendeteksi duktus kelenjar saliva.
Media kontras memiliki banyak adverse effect. Kelebihan injeksi media kontras dapat menyebabkan
rasa sakit dan merusak struktur parenkimal.
Walaupun
spesifitas dan sensitivitas MR sialografi dibawah Digital substraction, namun
dalam mendiagnosa, MR sialografi tidak kalah dengan digital
substraction. Karena MR
sialografi merpakan teknik yang lebih praktis dari digital
substraction, maka MR
sialografi menjadi alternatif teknik yang menjadi pilihan.
(Kalinowski, et al., 2002)
3.2 Modifikasi
MR Sialografi
3.2.1.
Diffusion-Weighted
MR Imaging Comparison of 1.5 T and 3 T
Merupakan suatu modifikasi MR Imaging dengan menggunakan prinsip diffusion-weighted imaging (DWI). DWI sensitif terhadap visualisasi
pergerakan acak dari molekul-molekul yang menimbulkan fase yang tidak koheren
untuk menghasilkan intensitas sinyal. Kenampakan difusi yang dihasilkan dalam MR
akan divisualisasikan melalui ADC (Apparent
Diffusion Coefficient). Melalui pengukuran nilai ADC maka aktivitas
glandula saliva dapat diketahui apakah dalam kondisi fisiologis ataukah pada
kondisi patologis.
Modifikasi MR dalam hal ini juga dititikberatkan
pada DWI MR yang membandingkan 1,5T dengan yang menggunakan 3T. Dalam
modifikasi tersebut, gambaran yang dihasilkan adalah perubahan saliva pada
glandula parotid kanan, glandula parotid kiri, maupun keduanya. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa DWI-EPI akan divisualisasikan melalui ADC dengan
rumus nilai ADC:
ADC = [ln (SI1/SI2)] / (b2-b1),
dimana : S = intensitas sinyal, b = faktor gradien
Dari nilai ADC akan tampak sebuah peta ADC yang
menggambarkan aktivitas glandula saliva. Dari ADC tersebut dapat diketahui
perbedaan intensitas dari DWI MR 1,5T dan 3T. Pada contoh kasus yang diteliti,
meneliti gambaran glandula parotid sebelum dan setelah stimulasi lemon juice. Lemon juice berfungsi sebagai stimulan saliva yang diberikan secara
oral kemudian didiamkan di dalam mulut selama 10 detik kemudian baru ditelan. 3
detik kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan modifikasi MR tersebut.
Stimulasi dengan lemon juice juga
berpengaruh dalam meningkatkan visualisasi aktivitas glandula parotid. Hasil
dari perbandingan glandula parotid kanan, glandula parotid kiri, dan keduanya
menggunakan baik DWI MR 1,5T dan 3T, dianalisa dengan student t-test.
Hasil menunjukkan bahwa DW-EPI menunjukkan glandula
parotid seluruh probandus secara sempurna. Setelah stimulasi oral diperoleh
peningkatan nilai median dari ADC untuk masing-masing pengukuran dan kedua
kekuatan (1,5T dan 3T). Nilai ADC yang diperoleh dengan 1,5T dan 3T sebelum dan
setelah stimulasi untuk glandula parotid menunjukkan korelasi yang tinggi.
Hasil nilai ADC dari DWI MR 1,5T dan 3T tersebut
juga tidak jauh berbeda sehingga dapat dinyatakan bahwa DWI MR 1,5T dan 3T
tidak jauh berbeda dari segi kualitas dalam memvisualisasikan aktivitas
glandula parotid. Oleh sebab itu, DWI MR 1,5T dapat lebih bisa diaplikasikan ke
pasien karena radiasi magnetik yang ditimbulkan relatif lebih kecil. Dari hasil
penjabaran tersebut dapat diambil garis besar dari modifikasi MR dengan DWI
bahwa DW-EPI memberikan data yg lebih tepat dalam memantau perubahan fungsi
glandula saliva yang disebabkan karena terapi radiasi.
(Haberman, et
al., 2007)
3.2.2
Diagnostic Accuracy of MR Sialografi with a Three-dimensional
Extended-Phase Conjugate-Symmetry Rapid Spin-Echo Sequence
3D express merupakan modifikasi MR sialografi
menggunakan 2T dengan pemaparan sinar yang cepat dan tepat dilengkapi dengan
analisis per seperempat target. Analisis seperempat bagian tersebut akan
memberikan gambaran 3 dimensi.
3D express juga
mempunyai waktu pemaparan yang lebih singkat. Dengan waktu pengulangan
pemaparan 6.000-10.000 msec dan lamanya pemaparan (echo time) 190 msec. Gambaran akhir yang diperoleh berukuran 16cm x
16cm dengan gambaran 256 × 256 pixels.
Dengan pengirisan lapisan setebal 0.6–1.5 mm.
Gambar 1A
Pada gambar terlihat adanya batu glandula di dekat pintu
masuk dari ductus warton (panah yang pendek). Ductus bartholin ditunjukkan oleh
panah yang bengkok. Cabang pertama ditunjukkan dengan kepala panah yang besar.
Cabang kedua ditunjukkan dengan anak panah yang kecil. Terlihat sekresi saliva
berlebih dalam rongga mulut (ditunjukkan oleh panah yang panjang dan kurus).
Gambar
1B
Gambar diambil dari wanita berusia 39 tahun dengan
pembengkakan glandula submandibular saat mastikasi. Adanya batu pada glandula
saliva ditunjukkan dengan anak panah yang menunjukkan adanya dilatasi duktus
Wharton dan sialodochitis (pembengkakan) ditunjukkan dengan panah lurus.
Melalui MR sialografi 3D express ini batu-batu kecil
dapat terdeteksi dan visualisasi dari gambaran anatomi secara keseluruhan lebih
baik.
(Becker, et al., 2000)
3.2.3
Sialogogue dan Ductal Occlusion MR Sialografi
MR Sialografi
umumnya menggunakan teknik
proyeksi penimbangan berat T2 dengan mengandalkan saliva untuk
menimbulkan gambaran kontras
dan visualisasi duktus tetapi gambarannya terbatas. Keterbatasan tersebut
membawa pada sebuah modifikasi dengan menggunakan sialogogue dan ductal occlusion. Metode modifikasi tersebut
diharapkan dapat
meningkatkan volume saliva intraduktal untuk meningkatkan visualisasi duktus.
Maksud dari modifikasi dengan Sialogogue yaitu dengan cara
penambahan asam seperti
asam sitrat dan jus lemon untuk memicu produksi saliva dengan tujuan volume
saliva akan lebih tinggi sehingga visualisasi kondisi ductus salivarius dapat
lebih jelas. Kemudian modifikasi
tersebut dikombinasikan dengan occlusion pack intra oral (terbuat dari kain kasa yang dilipat sebesar
3 cm) yang ditempatkan diantara gigi atas dengan orifisium duktus parotis.
Setelah kain kasa ini ditempatkan, volunteer diinstruksikan untuk segera
mengunyah lemon dan diposisikan pada magnet
bore. Pemeriksaan sialografi kemudian dilakukan dengan 1.5 T whole body MR system (GEHT, Excite, Milwaukee, WI). Dengan
dukungan Gradient echo localizer untuk mengidentifikasi posisi glandula parotis dan mandibula. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa
visualisasi duktus meningkat terutama dari sisi kekontrasan karena jumlah saliva intraduktal bertambah
akibat peningkatkan produksi saliva intraglandular.
Modifikasi ini dapat pula untuk mendeteksi adanya sumbatan yang
berhubungan dengan kalkulus dan sialectasis. Meskipun begitu, resolusi gambar
dan pencitraan perubahan pada duktus cabang yang dihasilkan masih terbatas
dibandingkan
dengan teknik sinar X. Hal tersebut dipengaruhi oleh signal-to-noise-ratio (SNR) pada teknik modifikasi
ini
rendah dibandingkan pada
sinar X. Hasilnya
akhir dari modifikasi ini adalah adanya peningkatan visualisasi pada duktus primer dan
mengarah pada peningkatan visualisasi pada duktus sekunder dan tersier.
(Hugill, et al., 2008)
3.2.4
MR Sialografi dalam
Mengevaluasi Kelenjar Saliva sebagai
Efek Radiasi
Modifikasi dari
MR Sialografi dalam hal ini adalah sebagai salah satu alat detector efek radiasi terapi misalnya pada penderita tumor atau
kanker. Salah satu contoh kasusnya adalah xerostomia sebagai efek dari terapi
radiasi dari malignansi kepala dan leher.
Malignansi kepala dan leher yang diterapi dengan terapi irradiation dapat menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang terjadi adalah radiation
induced xerostomia akibat dari hipofungsi atau injuri
glandula saliva sehingga secrete saliva yang keluar relatif lebih sedikit.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa radiation induced xerostomia dapat dievaluasi dengan salah satunya adalah
MR sialografi. Dengan teknik ini, dapat memvisualisasikan glandula saliva yang
hipofungsi dengan memberi informasi morfologi glandula yang detail, dan bisa
untuk diagnosis penyakit sialolithiasis dan sjorgen
syndrome.
Informasi morfologi pada MR sialografi,
diklasifikasikan dalam 3 macam:
1. Good: gambaran nyata pada kedua duktus utama,
begitu juga cabangnya
2. Fair: gambaran nyata dari duktus utama atau
cabangnya
3. Poor: gambaran tidak nyata dari duktus utama
maupun cabangnya
MR sialografi
menggambarkan duktus utama dan cabang dari glandula parotis dan submandibular.
MR sialografi memberikan visualisasi yang berbeda diantara keduanya, yakni:
-
Pada
glandula parotis: respon terhadap stimulasi asam tartaric yang diberikan untuk
merangsang keluarnya saliva, lebih baik sehingga hal ini menimbulkan gambaran radiograf
yang lebih jelas dan kontras.
-
Pada
glandula submandibula: gambaran yang kurang kontras pada duktus utama dan
cabangnya karena terdapat respon yang lemah terhadap stimulasi asam. Terutama
pada pasien dengan severe radiation
induced xerostomia. Karena, dosis yang tinggi pada saat terapi malignasi
leher dan kepala, glandula yang paling terkena dampaknya adalah glandula
submandibula sehingga ketika di-MR sialografi menimbulkan visualisasi yang
kurang baik.
(Wada, et.all,
2008)
BAB
IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
1.
MR sialografi merupakan teknik
sialografi yang lebih praktis dibandingkan dengan sialografi konvensional.
2.
Modifikasi sialografi MR
dengan three-dimensional extended-Phase
conjugate-symmetry rapid spin-echo sequence merupakan
modifikasi yang memberikan hasil gambaran paling baik.
4.2. Saran
1. Efek-efek
yang dapat membahayakan kesehatan pasien hendaknya menjadi salah satu
pertimbangan utama pemilihan teknik sialografi yang akan digunakan.
2. Pemilihan
modifikasi sialografi MR yang akan digunakan hendaknya disesuaikan baik dengan kasus
yang dihadapi maupun kondisi pasien agar mendapakan kualitas gambaran yang
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, M., et al. 2000. Sialolithiasis and Salivary
Ductal Stenosis: Diagnostic Accuracy of MR Sialografi with a Three-dimensional
Extended-Phase Conjugate-Symmetry Rapid Spin-Echo Sequence. Journal of Radiology.
217(2):347-58.
Becker, et al. 2005. Imaging of the
head and neck. Second edition. George Thieme Verlag: Stuttgart.
Haberman, C.R., et
al. 2007. Monitoring of Gustatory Stimulation of Salivary Glands by
Diffusion-Weighted MR Imaging : Comparison of 1.5 T and 3T. American
Journal Neuroradiology (28) : 1547-51.
Hugill, J., et al..2008. MR Sialografi : the effect
of a sialogogue and ductal occlusion in volunteers. The
British Journal of Radiology (81) : 583-86.
Johnson, T. J dan Bailey, J. B. 2006. Head and Neck Surgery: Otolaringology,
fourth edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelpia.
Kalinowski, M., et
al. 2002. Comparative Study of MR Sialografi and Digital Subtraction Sialografi
for Benign Salivary Gland Disorders. American
Journal Neuroradiology (23) : 1485–92.
Nixon, P.P., et
al. 2008. Does sialografi require antibiotic prophylaxis? The British Journal of Radiology (10) :
1-3.
Ozdemir, D., et
al. 2004. Lipiodol UF retention in dental sialografi. The British Journal of Radiology (77) : 1040-1.
Wada, A., et
al. 2008. Radiation-Induced Xerostomia: Objective Evaluation of Salivary
Gland Injury Using MR Sialografi. American
Journal Neuroradiology (30) : 53-8.
Whaites, E. 2003.
Essentials of Dental Radiography
and Radiology, 3rd edition. Churchill Livingstone : London.
White,
S.C. and Pharaoh, M.J. 2004. Oral
Radiology: principles and interpretation, fifth edition. Mosby : Missouri.
0 komeng:
Posting Komentar