BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa
ini, dalam dunia kedokteran gigi tindakan mempertahankan gigi yang mengalami
penyakit, misalnya karies atau infeksi lainnya, sangat diutamakan daripada
ekstraksi gigi. Untuk mempertahankan gigi tersebut tidak mudah, tentunya
membutuhkan kompetensi yang baik dan membutuhkan tindakan perawatan yang baik
pula. Beberapa tindakan perawatan seperti perawatan saluran akar, restorasi
gigi, atau tindakan kuratif lainnya dalam operative dentistry bertujuan, mengembalikan fungsi pengunyahan, bentuk
anatomi, bentuk estetik, mengembalikan fungsi bicara, mempertahankan gigi
selama mungkin didalam rongga mulut dan sebagai perlindungan jaringan pendukung
gigi. Tindakan perawatan tersebut harus tepat sasaran
sehingga tindakan tersebut benar-benar efektif mengatasi penyakit pada gigi dan
efektif dalam mempertahankan gigi.
Untuk
dapat melakukan perawatan yang tepat dan efektif, faktor etiologi penyakit dan
segala hal yang berhubungan dengan penyakit pada gigi harus dikuasai. Karena
dengan mengetahui etiologi dan proses berkembangnya penyakit pada gigi maka
dapat menentukan jenis perawatan yang tepat. Tidak hanya itu, pengusaan
mengenai teknik perawatan dan seluk-beluk tindakan perawatan yang dilakukan
juga perlu untuk diketahui, mulai dari sifat bahan, prinsip kerja bahan,
prinsip kerja alat, dan lain sebagainya hingga sedetail-detailnya. Dengan
begitu tindakan perawatan yang tepat dan efektif dapat diwujudkan.
Mempelajari
etiologi penyakit pada gigi dan mengkorelasikannya dengan tindakan perawatan
yang akan dilakukan juga tidak mudah. Oleh sebab itu, pada pembahasan makalah
ini, dijabarkan mulai dari etiologi, proses, dampak dari penyakit pada gigi
hingga pada tindakan yang dilakukan dalam
mempertahankan gigi sehingga dapat ditarik benang merah sebagai panduan
dalam memecahkan persoalan klinis.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Apa penyebab timbulnya rasa nyeri di
gigi?
2.
Bagaimana proses timbulnya lubang di
sela-sela gigi?
3.
Bagaimana restorasi yang tepat dan
efektif dalam tindakan perawatan gigi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui penyebab nyeri pada
gigi.
2.
Untuk mengetahui penyebab dan proses
timbulnya lubang di sela-sela gigi.
3.
untuk mengetahui restorasi yang tepat
dan efektif dalam tindakan perawatan gigi.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
nyeri
Nyeri adalah perasaan yang tidak
enak yang dirasakan secara sadar. Persepsi dari rasa nyeri dimulai dari proses
konduksi elektro-kimia dari area nyeri ke otak. Nyeri pada daerah gigi dapat
dikategorikan dalam sedang, cukup, dan berat. Biasanya nyeri pada gigi
diakibatkan oleh rangsang panas, dingin, dan pada saat mengunyah makanan
(Sharaf and Benoliel, 2008).
Nyeri merupakan pengalaman individu
yang melibatkan sensasi sensori dan emosional yang tidak menyenangkan (Arif,
2007).
2.2
Reaksi
spontan
2.2.1 Definisi Reaksi Spontan
Reaksi spontan adalah reaksi nyeri yang
timbul tanpa adanya stimulus yang dapat mengagetkan pasien tanpa diketahui
sebabnya (Walton dan Torabinejad, 2003).
2.2.2 Penyebab Reaksi Spontan
Terjadinya rasa
nyeri spontan menjadi indikasi pathosis parah dari jaringan pulpa. Nyeri
tersebut dipicu oleh rangsang seperti dingin, panas dan makanan manis. Namun
saat rangsang atau stimulus tersebut hilang, rasa nyeri tetap terasa. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ujung saraf dalam lapisan odontoblastic telah dirangsang oleh stimulus-stimulus tersebut
(Seltzer and Bender, 1975).
Gigi yang
mengalami pulpitis irreversible
menunjukkan gejala nyeri intermittent atau spontan (Cohen and Hargreaves, 2006).
2.3 Definisi tumpatan
Bahan
restorasi dibedakan menjadi bahan restorasi direk/langsung dan bahan restorasi
indirek/tidak langsung. Bahan restorasi direk adalah bahan yang ditumpatkan
pada kavitas gigi pasien langsung dalam satu kali kunjungan. Sementara itu,
bahan restorasi indirek/tidak langsung adalah bahan yang digunakan untuk
membuat restorasi di laboratorium terlebih dahulu, sesudah itu baru dipasangkan
pada kavitas yang biasanya memerlukan dua kali atau lebih kunjungan pasien (ADA
Council on Scientific Affairs, 2003).
Bahan restorasi yang akhir-akhir ini
sering digunakan antara lain: resin komposit, semen ionomer kaca, hibrida
komposit-semen ionomer kaca, logam cor, dan porselin. Sifat ideal bahan
restorasi: mudah digunakan, sewarna gigi, adhesif dengan gigi, tidak mengalami
perubahan volume saat mengeras (setting),
melindungi gigi dari karies rekuren, memiliki kekuatan adekuat, tidak terlarut
dan terkorosi dalam mulut, tidak toksik dan mengiritasi pulpa dan jaringan
gingival, mudah di-trim dan dipoles,
resisten terhadap pembentukan plak gigi, memiliki koefisien ekspansi termal
serta koefisien difusi termal sama dengan email dan dentin, sedikit menyerap
air, radiopak, murah, jangka waktu pemakaian lama (Kidd, et al, 2003).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Nyeri
3.1.1
Jenis nyeri
Berdasarkan ada atau tidaknya simulus,
nyeri terbagi atas :
a. Nyeri
spontan
Nyeri spontan adalah nyeri yang timbul tanpa
adanya stimulus yang dapat mengagetkan pasien tanpa diketahui sebabnya.
Biasanya mengindikasikan adanya penyakit pulpa atau periradikuler yang parah.
b.
Nyeri terus
menerus
Nyeri yang bersifat terus menerus, dan dirangsang
oleh stimulus, bahkan intensitasnya semakin meningkat setelah stimulusnya
hilang. Contohnya pasien merasakan nyeri berkepanjangan setelah meminum minuman
yang dingin. Apabila nyeri disebabkan oleh rangsangan termal, maka nyeri
tersebut dapat disebabkan oleh pulpitis
irreversible.
(Walton dan Torabinejad, 2003)
Berdasarkan
stimulusnya, nyeri dapat dibagi 2, yaitu:
1. Nyeri nosiseptif
yang terjadi akibat aktifasi nosiseptor A-delta dan C sebagai respon terhadap
rangsangan noxius (termal , mekanik ,
kimia).
2. Nyeri neuropatik
merupakan nyeri yang timbul akibat kerusakan / perubahan patologis pada sistem
saraf perifer atau sentral.
(Arif, 2007)
3.1.2
Sifat dan ciri-ciri
Ciri-ciri dan sifat nyeri adalah timbulnya rasa
sakit yang tinggi dan
berkepanjangan bahkan setelah sumber rasa sakit
dihilangkan. Rasa sakit tersebut
dapat tajam atau tumpul, lokal atau keseluruhan
(Cohen and Hargreaves, 2006).
3.1.3
Mekanisme terjadinya nyeri
Mekanisme nyeri
terjadi dalam beberapa tahap,yaitu transduksi, transmisi, modulasi,
sensasi, dan persepsi :
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat
kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian
ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf tidak
bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks serebri.
Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas
dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan
disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat berupa
rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin), dan agen kimiawi yang dilepaskan
karena trauma / inflamasi. Nyeri timbul karena adanya kemampuan sistem saraf
untuk mengubah berbagai stimulus mekanik, kimia, termal, dan elektris menjadi
potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat (Arif, 2007).
Mekanisme
terjadinya nyeri pada gigi :
Munculnya sensitivitas pada dentin yang disebabkan
oleh dentin yang terbuka (karena cavitas, atau terbukanya dentin pada servikal
gigi). Biasanya dentin sensitif terhadap perubahan suhu, sentuhan, dan rasa
manis. Saat dentin terpapar rangsangan, akan terjadi rasa nyeri yang tajam
dengan durasi yang pendek. Terdapat 3 teori tentang rasa sakit pada dentin :
1)
adanya stimulasi
rangsangan langsung dari dentin
2)
adanya
pergerakan dari cairan di tubulus dentinalus yang merangsang mekanosireseptor,
teori ini dinamakan hydrodynamic theory
3)
adanya
transduksi stimulus dari odontoblas menuju ujung sarang nyeri di tubulus atau
predentin
untuk proses timbulnya rasa nyeri yang dirasakan penderita,
mekanisme pengolahan sensasi nyerinya sama seperti pada mekanisme umum nyeri.
(Mehta, et al.
2009)
3.2
Tidak ada reaksi spontan
Reaksi
tidak spontan berarti bahwa rasa nyeri timbul akibat adanya stimulus misalnya
berupa rangsang panas, dingin, dan manis. Contoh kasusnya adalah pada pasien
dengan gejala pulpitis awal (Birnbaum dan Dunne, 2009).
3.3 Makanan mudah terselip
3.3.1
Penyebab makanan mudah terselip
Berikut ini adalah penyebab makana mudah
terselip :
a.
Over contour
tumpatan
Over
contour pada tepi tumpatan dapat menyebabkan distribusi stress tidak merata sehingga
dapat berefek pada gingiva mengalami yaitu terjadi atropi. Atropi
gingiva dapat menyebabkan makanan mudah terselip dan menimbulkan retensi plak
(Qualthrough, et.al, 2005).
b.
Gigi yang
berjejal
Gigi
yang berjejal menimbulkan celah-celah di sela-sela gigi. Ketika makan /
mastikasi maka sisa-sisa makanan terselip di celah-celah gigi yang berjejal
tersebut (Susanto, 2010).
c.
Lubang di
sela-sela gigi
Lubang di sela-sela
gigi, yang disebabkan oleh beberapa hal, dapat menyebabkan makanan mudah
terjebak di lubang tersebut saat mastikasi (Susanto, 2010).
3.3.2
Dampak makanan mudah terselip
Makanan yang terselip merupakan sumber karbohidrat
bagi metabolisme bakteri. Plak
memetabolisme karbohidrat untuk energi, dan menghasilkan asam organik sebagai
produk sampingan. Asam ini dapat menyebabkan lesi karies melalui disolusi
struktur kristal gigi. Jika terus
dibiarkan maka akan menyebabkan lubang-lubang di sela-sela gigi, yang biasa
disebut dengan karies. Karies gigi merupakan penyakit infeksi mikrobiologis
dari gigi yang menyebabkan disolusi lokal dan hancurnya jaringan yang
terkalsifikasi (Roberson, 2002).
3.4 Lubang disela-sela gigi
3.4.1
Penyebab Lubang disela-sela gigi
a.
Biasanya
lubang
disela-sela gigi terbentuk
pada gigi belakang yaitu dalam lekukan yang sempit pada permukaan gigi untuk
mengunyah dan pada bagian gigi yang menghadap ke pipi. Daerah ini sulit
dibersihkan dari sisa makanan yang terselip karena lekukannya lebih sempit
daripada bulu – bulu sikat gigi (Susanto, 2009).
b.
Gigi
palsu yang tidak sesuai pemasangannya
Gigi
palsu yang tidak tepat pemasangannya baik dari segi retainer langsung ataupun
dari segi platnya dapat menimbulkan adanya celah di sela-sela antara gigi asli
(yang biasanya digunakan sebagai gigi pegangan) dengan anasir gigi pada gigi
palsu (Jones and Garcia, 2009).
c.
Penggunaan
tusuk gigi yang tidak tepat
Penggunaan tusuk gigi yang tidak tepat justru dapat
menyebabkan tmbulnya celah di sela-sela gigi. Selain itu, arah tusukan yang
tidak tepat dari tusuk gigi dapat menyebabkan makanan semakin masuk ke
sela-sela gigi. Jika hal tersebut tetap dibiarkan maka dapat menyebabkan celah
di sela-sela gigi semakin parah hingga menjadi lubang di sela-sela gigi
(Susanto, 2010).
d.
Resesi
gingiva
Resesi
gingiva merupakan atropi gingiva yang menyebabkan timbulnya celah di sela-sela
gigi salah satunya sebagai akibat manifestasi penyakit periodontal (Mustaqimah,
2008).
e.
Restorasi
yang buruk
Restorasi
yang buruk , baik dari segi contour, cara mereparasi, ataupun dari segi
kualitas bahan yang digunakan, dapat menyebabkan distribusi stres yang tidak
merata pada jaringan pendukung gigi,dapat pula menyebabkan tidak sempurnanya
bentuk anatomi gigi seperti timbul lubang di sela-sela gigi sehingga menyebabkan
makanan mudah terselip dan bakteri mudah terdeposisi (Qualthrough, et.al, 2005).
3.4.2
Dampak Lubang disela-sela gigi
Dampak dari lubang
di daerah interproksimal yaitu
kariesnya bisa meluas ke arah pulpa, kemudian bisa terasa sakit
yang amat sangat yang dinamakan
pulpitis (Susanto, 2009). Lesi juga
akan menetap menjadi inflamasi gingival (Summitt, et al., 2006).
3.4.3
Solusi terhadap adanya lubang di
sela-sela gigi
Salah
satu solusi terhadap adanya lubang di sela-sela gigi adalah merestorasi tumpatan
dengan baik. Dalam prosedur merestorasi yang baik, harus dideskripsikan
terlebih dahulu bentuk gigi secara fisio-anatomikal yang ideal. Selain itu,
operator harus menjalani prosedur restorasi yaitu: mengenai pergerakan gigi (tooth movement) dan pembentukan matriks
(matricing).
Tooth
movement dilakukan dengan merapatkan antar gigi atau merubah
posisi satu atau dua dimensi. Hal ini bertujuan membuat fungsi fisiologis
kontak, kontur dan anatomi oklusinya kembali baik.
Matricing
adalah prosedur dimana dinding sementara dibentuk berlawanan dengan axis gigi.
Menggunakan bahan restorasi yang dikenal dengan plastic state. Dinding matrix harus dibentuk secara contour tiga
dimensi (termasuk kontak area) pada saat merestorasi. Yang lebih penting,
matrix harus mampu mengkonfigurasikan tumpatan secara baik saat bahan restorasi
dimasukkan. Matrix berfungsi sebagai panduan bentuk gigi yang akan direstorasi.
(Marzouk,1985)
3.5 Tumpatan
3.5.1
Klasifikasi
tumpatan
Menurut G.V. Black
karies diklasifikasikan menjadi :
a.
Klas I : Karies
yang melibatkan pit dan fisurre.
b.
Klas II : Karies
yang melibatkan permukaan proksimal dari gigi posterior.
c.
Klas III :
Karies yang melibatkan permukaan proksimal dari gigi anterior.
d.
Klas IV : Karies
yang melibatkan permukaan proksimal dan sudut incisal dari gigi anterior.
e.
Klas V : Karies
yang melibatkan permukaan cervical.
(Kidd, et al. 2003)
3.5.2
Jenis tumpatan dan kelebihan serta
kekurangannya
a. Semen
Ionomer Kaca
Semen
ionomer kaca merupakan sekelompok bahan hasil dari reaksi bubuk silikat kaca
dengan asam poliakrilat. Bahan ini awalnya direkomendasikan untuk restorasi
estetik gigi anterior serta tumpatan kavitas klas III dan klas V, tetapi saat
ini juga digunakan sebagai bahan luting,
adhesif bracket orthodontik, bahan
silen pit dan fisur, dan lain sebagainya. Bahan ini memiliki sifat adhesif
terhadap struktur gigi dan mampu mencegah karies. Sifat adhesif ini mungkin
karena ikatan antara gugus karboksil dari poliasam pada semen dengan kalsium
pada kristal apatit email dan dentin. Mengenai kemampuannya melepaskan
fluoride, beberapa penelitian menunjukkan bahwa semen ionomer kaca dapat
menghambat berkembangnya karies sekunder. Beberapa kelemahan semen ionomer
kaca: rentan terhadap deformasi elastik, ketangguhan (toughness) terhadap kemungkinan fraktur rendah (Anusavice, 2003).
Dua
sifat utama semen ionomer kaca yang membuatnya hingga saat ini dapat diterima
sebagai bahan kedokteran gigi adalah kemampuannya berikatan dengan email dan
dentin (adhesif intrinsik) serta melepas ion fluoride dari komponen kaca dari
semen tersebut. Secara estetis, semen ionomer kaca tahan terhadap stain karena adhesi yang kuat antara
matriks dengan kaca. Seperti halnya semen kedokteran gigi yang lain, semen
ionomer kaca mudah terlarut dalam cairan mulut apabila dalam keadaan belum
sepenuhnya mengeras, apabila terpapar asam atau abrasi mekanis dalam jangka
waktu lama. Sifat mampu melepas ion fluoride dari semen ionomer kaca membuat
dokter gigi dalam keadaan dilematis untuk memilih bahan tumpatan dari semen
ionomer kaca atau dari resin komposit karena semen ionomer kaca lebih lemah,
tetapi dapat memberikan perlindungan ke jaringan sekitarnya lewat pelepasan
fluoride. Di lain pihak, resin komposit lebih stabil dan kuat, tetapi tidak
dapat menyediakan perlindungan seperti yang dilakukan semen ionomer kaca. Semen
ionomer kaca banyak digunakan di klinik untuk bahan tumpatan klas III atau
restorasi oklusal gigi desidui (Van Noort, 2007).
b. Ionomer
Kaca Modifikasi Resin (IKMR)
Sifat
semen ionomer kaca yang peka terhadap kelembapan dan memiliki kekuatan rendah
disebabkan oleh lambatnya reaksi setting
dari reaksi asam-basa. Oleh karena itu, perlu ditambahkan gugus yang
terpolimerisasi agar dapat mengeras dalam waktu lebih cepat. Pengaktifan
polimerisasi ini dapat dilakukan oleh penyinaran atau zat kimia. Akibatnya,
terjadi pengerasan dari gugus terpolimerisasi dan semen ionomer kaca. Inilah
bahan yang disebut ionomer kaca modifikasi resin (IKMR). IKMR masih
mempertahankan sifat semen ionomer kaca, yakni kemampuan melepas ion fluoride
dan berikatan dengan struktur gigi. Kekuatan IKMR lebih besar daripada semen
ionomer kaca karena rendahnya modulus elastisitas dan deformasi plastik lebih
tinggi sebelum terjadi fraktur. Akan tetapi, proses polimerisasi menghasilkan
pengkerutan selama setting
(Anusavice, 2003) .
Bahan
ionomer kaca modifikasi resin (IKMR) mempertahankan dua sifat unggulan semen
ionomer kaca yakni pelepasan fluoride dan sifat adhesifnya. Penambahan struktur
resin ke dalam semen ionomer kaca jelas memperbaiki banyak sifat semen ionomer
kaca. Dengan demikian, sifat baik semen ionomer kaca yang dapat mengikat dentin
dan email serta dapat melepas fluoride digabungkan dengan kekuatan dan
resistensi terhadap desikasi dan paparan asam, serta setting yang cepat dengan radiasi dari sinar tampak. Akan tetapi,
bahan ini, menurut penelitian, bersifat sitotoksik terhadap jaringan pulpa gigi
dan osteoblast karena adanya HEMA yang tidak terpolimerisasi (Van Noort, 2007) .
c. Resin
Komposit
Resin komposit merupakan bahan tumpatan yang
tersusun dari tiga komponen struktur yaitu matriks yang merupakan bahan resin
yang membentuk fase kontinyu, dalam hal ini terbuat dari bisfenol-glisidil
metakrilat A (bis-GMA), bahan filler
yang memperkuat partikel dan serat matriks, serta bahan coupling agent yang mengikat matriks resin dengan bahan filler. Resin komposit diklasifikasikan
menurut ukuran partikel bahan filler-nya,
yaitu komposit tradisional yang mengandung partikel macrofiller, komposit dengan small-particle-filled
(SPF), komposit microfiller, komposit
hibrida, komposit flowable, dan
komposit packable. Resin komposit
tradisional memiliki permukaan yang kasar, tidak resisten terhadap bahan
abrasif dan mastikasi, mudah terdiskolorasi, resistensi rendah terhadap keausan
oklusal sehingga merupakan bahan yang paling buruk untuk tumpatan gigi
posterior. Resin komposit dengan SPF memperbaiki kekuatan dan ketahanan
terhadap bahan abrasif, tetapi permukaannya masih relatif kasar. Resin komposit
microfiller memiliki permukaan yang
halus dan saat ini banyak digunakan untuk tumpatan estetis di regio gigi yang
tidak terkena stress atau di regio
subgingiva. Resin komposit hibrida memperbaiki kekuatan dari komposit microfiller dan tetap memiliki permukaan
yang halus sehingga bahan ini banyak dipakai untuk tumpatan gigi anterior,
termasuk kavitas klas IV, selain itu juga dipakai untuk tumpatan gigi
posterior. Resin komposit flowable
merupakan hasil modifikasi SPF dan hibrida yang memiliki sifat dapat mengalir
dengan mudah sehingga mudah pula beradaptasi terhadap anatomi gigi. Resin
komposit packable dipakai untuk
tumpatan gigi posterior dengan sifat yang padat dan teknik penumpatan mirip
dengan restorasi amalgam, tetapi waktu penumpatannya lebih lama daripada
amalgam (Anusavice, 2003).
Resin komposit
kebanyakan bersifat radiopak untuk memudahkan diagnosis karies sekunder,
kebocoran tepi, dan lainnya, terutama untuk gigi posterior. Akan tetapi, resin
komposit memiliki beberapa kelemahan, yakni pengkerutan
polimerisasi, kebocoran tepi akibat pengkerutan, dan keausan oklusal
(Anusavice, 2003).
Berdasarkan
ukuran partikel filler, resin
komposit diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu resin komposit tradisional,
komposit microfiller, komposit hibrida,
dan komposit hibrida small-particle.
Resin komposit tradisional memiliki permukaan yang kasar setelah finishing dan penampakan yang kurang
baik. Resin komposit microfiller
permukaannya sangat halus setelah finishing
(Van Noort, 2007).
Resin
komposit tidak memiliki sifat adhesif intrinsik terhadap email dan dentin
sehingga etsa asam dengan asam fosfat dan aplikasi agen bonding dentin diperlukan sebelum memasukkan bahan tersebut. Resin
komposit memiliki sifat menyerap air secara langsung pada permukaannya,
akibatnya dapat terjadi hidrolisis ikatan dalam resin. Selain itu, komposit
dapat menurun koefisien ekspansi termalnya seiring makin banyaknya kandungan glass filler, tetapi kebanyakan produk
komposit memiliki koefisien ekspansi termal lebih tinggi daripada email.
Seharusnya koefisien ekspansi termal bahan tumpatan hampir sama besar dengan
koefisien ekspansi termal email. Komposit bersifat radiopak untuk memudahkan
diagnosis karies sekunder (Van Noort, 2007).
Kelebihan dan
kekurangan bahan restorasi komposit menurut Haesman, et al. (2003) :
a. Untuk
gigi anterior:
Kelebihan :
Estetik karena warna
sama dengan gigi.
Kekurangan :
1.
Rasa linu.
2.
Dpat terjadi
perubahan warna setelah pemakaian jangka waktu lama.
3.
Kurang bertahan
lama pada kavitas besar.
b. Untuk
gigi posterior
Kelebihan
:
1.
Estetik baik.
2.
Mengurangi
dekstruksi substansi gigi.
3.
Adhesinya composite resin compatible terhadap agen
bonding
4. Low thermal conductivity.
5.
Berkurangnya
konduktivitas listrik.
Kekurangan :
1.
Kontraksi
polimerisasi
2.
Absorpsi air.
3.
Derajat polimerisasi
tergantung pada beberpa faktor.
(ADA Council on
Scientific Affairs, 2003)
3.1.1
Cara merestorasi tumpatan
Alasan
utama penumpatan bahan restorasi adalah untuk mengontrol terjadinya plak.
Langkah-langkah penumpatan secara sederhana adalah akses ke jaringan karies,
pembuangan jaringan karies dengan ekskavator, pemilihan bahan restorasi
tergantung besarnya kavitas, pembuatan retensi untuk bahan restorasi (misalnya
etsa asam untuk bahan tumpatan resin komposit), perencanaan kavitas, preparasi
kavitas, dan penumpatan bahan restorasi yang telah dimanipulasi (Kidd et al, 2003).
(Kidd et al, 2003)
(Vasconcelos, 2009)
3.1
Pencegahan terhadap karies sekunder
Salah satu cara mencegah karies sekunder adalah
dengan menciptakan retensi yang baik antara email yang dietsa dengan tepi
tumpatan akan mencegah terjadinya kebocoran tumpatan, plak tidak meningkat sehingga
karies sekunder pun tidak terjadi. Retensi baik didapat dari teknik penumpatan
yang benar. Teknik penumpatan yang baik akan menghasilkan
tumpatan yang baik sehingga mengurangi akumulasi plak dan hal tersebut mencegah sekunder karies.
Cara spesifik
untuk menghambat karies rekuren atau karies sekunder: dengan pengendalian plak
dan teknik penumpatan :
1.
Karies sekunder
terbentuk pada daerah yang banyak terjadi penumpukan plak, misalnya batas
antara tumpatan dan gigi, maka daerah tersebut harus dapat dibersihkan dengan
mudah (harus dapat dilalui serabut sikat gigi atau benang gigi). Hal ini
berarti bahwa pada permukaan oklusal tepi kavitas tidak boleh berakhir pada
bagian fisur yang dalam, karena di tempat tersebut banyak plak yang berkumpul,
kecuali bila fissure yang dalam
tersebut telah ditumpat dengan resin preventif, sehingga usaha pengendalian
plak dapat mencegah terbentuknya karies sekunder.
2.
Tumpatan pada
tepi bukoaxial dan axiolingual daerah proximal kavitas kelas 2 tidak boleh
berada pada titik kontak tetapi harus ditarik ke embrasure sehingga mudah dibersihkan dengan sikat gigi.
3.
Tepi gingival
semua tumpatan harus diletakkan kearah korona dari tepi gingival, karena bila
tumpatan diletakkan kearah sub gingival akan memacu akumulasi plak sehingga rekuren
karies mudah terjadi.
(Kidd and Bechal, 1991)
Begitu
banyak instrumen modern yang dapat digunakan dalam merestorasi. Berikut ini
akan dijelaskan secara singkat beberapa alat modern yang berperan dalam
membantu merestorasi tumpatan :
1.
Metal
matrix band
Metal matrix band
digunakan untuk membantu dalam pengisian bahan restorasi.
2. Comporoller
Comporoller adalah instrumen
untuk modelling restorasi komposit yang inovatif dengan tip
unik yang bisa berputar sehingga mempermudah dan mempersingkat waktu
dalam modelling restorasi komposit. Memiliki jenis tip yang berbeda untuk membentuk bagian
marginal dan oklusal restorasi.
3.5.5 Marginal ridge pada tumpatan
Marginal
ridge merupakan peninggian yang
menjadi batas di mesial dan distal gigi di permukaan oklusal untuk gigi-gigi posterior (Anonim, 1998), dan di
permukaan lingual untuk gigi-gigi anterior (Anonim, 2011).
Marginal
ridge dengan
dimensi yang tepat dari anatomi tonjol gigi penting untuk keseimbangan gigi di
lengkungnya, pencegahan impaksi makanan pada daerah proksimal, perlindungan
jaringan periodonsium, pencegahan kerusakan reccurent, dan untuk membantu dalam
efisiensi pengunyahan (Vasconcelos, 2009).
Berikut adalah
salah satu contoh konsekuensi yang akan ditanggung oleh penciptaan marginal ridge yang salah:
a.
Tidak adanya marginal
ridge akan menyebabkan gaya 1 akan diarahkan ke permukaan proksimal
gigi yang berdekatan (gambar
13). Hal tersebut akan menyebabkan makanan terselip di interproximal gaya 1 akan diarahkan ke permukaan proksimal gigi yang
berdekatan.
b.
Marginal ridge dengan lubang
dinding oklusal berlebihan (gambar 14)
mengakibatkan debris
pada daerah interproximal.
c.
Marginal ridge tidak sesuai dengan ketinggian gigi
tetangga.
Membentuk restorasi dengan marginal
ridge lebih tinggi dari gigi yang
berdekatan (gambar 15 A), akan memungkinkan memaksa untuk bekerja pada permukaan proksimal restorasi. komponen horisontal
akan mendorong gigi kembali dari kontak dengan gigi tetangganya,
dan komponen vertikal akan menyebabkan terbentuknya debris
di daerah interproximal.
d.
Marginal ridge tanpa fosa segitiga yang berdekatan (gambar 16)
Dalam kondisi tersebut tidak ada oklusal marginal
ridge untuk memberikan kekuatan oklusal, sehingga tidak ada komponen
horizontal yang berfungsi untuk mendorong gigi ke arah satu sama lain sehingga
menutup kontak. Selanjutnya, gaya vertikal akan cenderung menyebabkan makanan terselip di daerah interproximal.
e.
Marginal ridge tanpa dinding occlusal.
Dalam kasus ini, dua marginal ridge yang berdekatan akan bertindak seperti sepasang pinset yang menggenggam makanan sehingga akan sulit untuk menghilangkan debris makanan yang terperangkap.
f.
Marginal ridge satu dataran di arah buko-lingual
Biasanya, bagian facial dan lingual marginal
ridge merupakan bagian dari komponen oklusal gigi. Oleh karena itu, membuat mereka satu
dataran dapat menyebabkan kontak prematur selama oklusi fungsional dan
statis. Marginal ridge dalam satu dataran tersebut akan
menyebabkan aliran makanan menjauhi posisi kontak pengunyahan normal (meleset
dari tempat oklusi).
g.
Marginal ridge tipis dalam cekung mesio-distal (gambar 19)
marginal ridge yang tipis akan rentan terhadap kepatahan atau deformasi yang mengarah ke masalah marginal ridge yang telah disebutkan
sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
ADA
Council on Scientific Affairs.2003. Direct and Indirect Restorative Materials. JADA 134: 463-471.
Anonim.1998.
Biology of The Human Dentition. http://www.uic.edu/classes/orla/orla312/BHDI.html,
diakses tanggal 21 Mei 2011.
Anonim.
2011. Marginal Ridge. http://www.tpub.com/content/medical/14274/css/14274_79.htm,
diakses tanggal 21 Mei 2011.
Anusavice,
K.J.. 2003. Phillips’ Science of Dental
Materials, 11th edition. Elsevier : St. Louis.
Birnbaum,
W. dan Dunne, S.M. 2009. Diagnosis
Kelainan dalam Mulu : Petunjuk Bagi Klinisi. EGC : Jakarta.
Cohen S. and Hargreaves K.M. 2006. Pathways of the Pulp, ninth Edition.
Elsevier : Mosby.
Haesman, P. et al.
2003. Master Dentistry The Perfect
Revision Aid for Final Dentistry Exams volume2 : Restorative Dentistry
Paediatric Dentistry Orthodontics. Churchill livingstone : oxford.
Jones, J.D. and Garcia, L.T. 2009. Removable Partial Dentures. Blackwell
publishing : USA.
Kidd,
E.A.M., Smith, B.G.N., Watson, T.F. 2003. Pickard’s
Manual of Operative Dentistry, 8th edition. Oxford University
Press : Oxford.
Kidd,
E. A. M dan Bechal, S. J. 1991. Dasar-
Dasar Karies: Penyakit dan Penanggulangannya. EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif, et all., 2007. Ilmu Penyakit
Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran,edisi III, jilid kedua, cetakan keenam.
Media Aesculapius : Jakarta. 54-59.
Marzouk,
M.A et al. 1985. Operative Dentistry Modern Theory and Practice. St Louis: Tokyo
(Page 245- 248)
Mehta, N. R, et al.2009. Head, Neck, and
Face Pain Science, Evaluation, and Management. Willey-Blackwell : New
Jersey.
Mustaqimah, D.N. 2008. Resesi Gingiva
dan Cara Mudah Melakukan Penutupannya. Dentika
Dental Jurnal vol.13 (1) : 52-56.
Qualtrough, A.J.E., Satterthwaite, J.D.,
Morrow, L.A., and Brunton, P.A. 2005. Principles
of Operative Dentistry. Blackwell publishing company : Oxford.
Roberson, T.M. et al. 2002. Sturdevant’s Art
& Science of Operative Dentistry, 4th Edition. Mosby : St.
Louis.
Sharaf, Y and Benoliel, R. 2008. Orofacial Pain and Headache. Elseveir :
USA.
Seltzer
S. and Bender I.B. 1975. The Dental Pulp
Biologic Considerations in Dental Procedures. 2nd Edition. J.B.
Lippincott Company : Philadelphia and Toronto.
Summitt,B.James,
Robbins,William J, Hilton, J. Thomas,dkk . 2006. Fundamentals of Operative Dentistry A Contemporary Approach . Texas
: Quintessence Publishing Co, Inc.
Susanto,
A.J. 2009. Dental Caries. www. Repository ui .ac .id, diakses tanggal 18
Mei 2011.
Susanto,
G.W. 2010. Tusuk Gigi. http://hagerra-clinic.com/?page=artikel5,
diakses tanggal 20 Mei 2011.
Van
Noort, R. 2007. Introduction to Dental
Materials, 3rd edition. Mosby : St. Louis.
Vasconcelos, F. S. Q., et al. 2009. Influence of Anatomic Reference on The Buccal Contour
of Prosthetic Crowns. Brazilian Oral Research, 23 (3) : .
Walton, R.E. dan Torabinejad, M, 2003. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. EGC:
Jakarta
0 komeng:
Posting Komentar